Memilukan! 2 Santri di Tanjabbarat ‘Diduga Menjadi Korban Pencabulan, Agit: Ini Tragedi Moral

  • Bagikan

Opini: Gigih Dwi Prasetyo (Agit)

Tanjabbarat, (Boemimelayu.com) – Beberapa waktu terakhir, masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat diguncang oleh kabar memilukan dan memalukan, yaitu: dugaan pencabulan terhadap dua orang santri oleh seorang guru di sebuah pondok pesantren. Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, ini adalah tragedi moral yang mencederai hati nurani kita sebagai orang tua, pendidik, dan warga negara.

Ketika tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh anak justru menjadi wadah memproduksi trauma, maka bisa kita katakan bahwa ada sesuatu yang sangat keliru dalam sistem pendidikan kita.

Ketika Perlindungan Anak Hanya Sebatas Wacana

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 1990, yang mengamanatkan perlindungan total terhadap anak dari segala bentuk kekerasan. Namun faktanya, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan dari tahun ke tahun.

Baca Juga:  Aksi "Jaga Jambi Jaga Bumi" di Simpang Mayang: Ini Tuntutan Masa Aksi

Untuk tahun 2024 saja, data yang dikutip dari Simfoni PPA, tercatat dari Januari hingga Juni terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak, dan itu sejak tahun 2019 sampai tahun 2024. (Baca Sumber).

Yang lebih mengerikan, banyak kasus serupa yang tak pernah sampai ke permukaan karena anak-anak takut bicara, keluarga malu, atau institusi memilih tutup mata demi nama baik.

Dampak Psikologis yang Tak Terlihat Mata

Menurut riset Psychological Impact of Early Childhood Development Due to Sexual Violence, bahwa kekerasan seksual terhadap anak meninggalkan luka jangka panjang: trauma, depresi, bahkan kecenderungan bunuh diri. (Baca Sumber).

Anak-anak bukan sekadar korban fisik. Mereka adalah jiwa-jiwa muda yang akan membawa luka itu hingga dewasa, jika kita tidak segera bertindak.

Peran Lembaga Pendidikan: Lebih dari Sekadar Mengajar

Kejadian ini menjadi alarm keras bagi semua lembaga pendidikan, khususnya yang berbasis asrama. Apakah kita sudah benar-benar membangun sistem yang aman bagi anak-anak? Apakah ada pelatihan berkala untuk tenaga pendidik mengenai etika, perlindungan anak, dan pelaporan kekerasan?

Langkah aparat penegak hukum patut diapresiasi. Namun pekerjaan kita tak berhenti sampai penahanan pelaku. Harus ada reformasi serius: mulai dari SOP perlindungan anak, mekanisme pengawasan yang independen, hingga ruang aman untuk anak berbicara dan melapor tanpa rasa takut.

Anak-anak Butuh Lebih dari Sekadar Simpati

Seperti kata Nelson Mandela, “There can be no keener revelation of a society’s soul than the way in which it treats its children. (Tidak ada gambaran yang lebih jelas tentang jiwa suatu masyarakat selain cara masyarakat tersebut memperlakukan anak-anaknya).”  Maka bagaimana jiwa bangsa ini, jika kita terus membiarkan anak-anak terluka tanpa perlindungan nyata?

Sudah saatnya kita berhenti bicara soal perlindungan anak hanya saat ada kasus viral. Setiap anak berhak atas masa depan, dan masa depan itu dimulai dengan rasa aman hari ini.

Mari bersama kita jaga dunia pendidikan agar tetap suci dan bermartabat. Bukan tempat kelam yang membekas buruk dalam hidup anak-anak.

_____________

Penulis merupakan Ketua Yayasan Spesial Permata Insani yang salah satu konsennya adalah memperhatikan isu anak dan pendidikan. Tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan sekaligus ajakan untuk refleksi kita bersama.

Baca juga berita kami di:
Penulis: AgitEditor: Riyono
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan